Teguh Karya

Kala Teguh Karya Bicara tentang November 1828

MagMA Entertainment – Di masanya, akhir 1970-an, November 1828 adalah film produksi PT. Interstudio, PT. Gemini Satria Film, dan PT. Garuda Film dengan bujet teramat mahal: Rp 240 juta.

Riset sebelum syuting dilakukan di tujuh kota—dua di antaranya di Belanda. Syutingnya sendiri makan waktu setengah tahun. Lokasi utamanya sebuah desa di Yogyakarta, desa Sawahan, dan hampir melibatkan seluruh penduduk.

Semua kerja keras itu terbayar. Di ajang Festival Film Indonesia (FFI) ke-VII di Palembang, Sumatera Selatan, November 1828 meraih enam Piala Citra untuk Film Terbaik, Sutradara Terbaik, Aktor Pendukung Terbaik, Penata Kamera Terbaik, Penata Artistik Terbaik dan Penata Musik Terbaik.

Hingga kini pula, orang menganggap November 1828 sebagai salah satu karya terbaik Teguh Karya. Filmnya sendiri mengambil sebuah babak di masa Perang Jawa (1825-1830) ketika Pangeran Diponegoro mengobarkan perang pada penjajah Belanda. Persisnya di Desa Sambiroto pada kurun November tahun 1828.

Belanda tengah mengejar Sentot Prawirodirdjo, salah satu panglima perang Diponegoro. Yang tahu persembunyian Sentot ditengarai adalah Kromoludiro (diperankan Maruli Sitompul). Untuk memaksa Kromoludiro buka mulut, istri dan anak-anaknya di sandera Belanda di rumahnya.

Sang sutradara, Teguh Karya berkisah filmnya lahir dari ketertarikannya pada kisah pengorbanan. “Suatu kali saya menengok adik saya di Malang,” katanya memulai cerita seperti dikutip Tempo, 19 Mei 1979. “Anak itu tadinya penjudi nesar. Hanya dengan pengorbanan besarlah akhirnya yang menjadikan ia pendeta. Pengorbanan adik, pengorbanan ibu. Ini sama saja dengan pengorbanan keluarga Kromoludiro dalam November 1828. Saya tertarik membuat film tentang pengorbanan.”

Konflik Van Aken dan De Borst

Cerita soal pengorbanan keluarga itu ditariknya pada kisah sejarah perjuangan Diponegoro. “Saya kagum ternyata pasukan kita hebat. Saya ingin kisahkan ini, tapi tidak tentang Diponegoro, karena saya tidak punya ide epik tentang pahlawan ini.”

Ceritanya konon terilhami drama berjudul Montserrat karya Emmanuel Robles yang juga mengisahkan pemuda Spanyol yang memilih mati demi kemerdekaan Venezuela daripada membocorkan di mana Simon Bolivar, sang tokoh pejuang, bersembunyi.  Namun Teguh menolak mencontek mentah-mentah.

“Saya tidak cuma dipengaruhi Emmanuel Robles itu, tapi juga Gandhi (pahlawan India), Rizal (pahlawan Filipina), kepahlawanan Cut Nyak Dhien dll. Kalau secara fisik film saya dikatakan mirip Montserrat, itu tidak terlalu penting. Fisik tidak penting. Lagi pula mungkin hal itu dari bawah sadar saya. Tak bisa elakkan,” urai pria bernama asli Steve Liem Tjoan Hok itu.

Selain soal keluarga Kromoludiro, November 1828 juga menceritakan konflik antara dua perwira Belanda Van Aken (El Manik) dan De Borst (Slamet Rahardjo). Itu sebabnya film ini juga disebut punya multiplot. Kapitein De Borst, indo yang sangat ingin jadi Belanda murni, sedangkan Van Aken menaruh simpati pada perjuangan rakyat Jawa. “Itu cuma cerita sampingan,” kata Teguh.  Hanya untuk membangun nilai dramatis filmnya, katanya.

“Film ini memang multiplot, tapi tujuan utama menceritakan tentang keluarga yang mendapat malapetaka. Kalau konflik van Aken dan De Borst diterang-jelaskan, jadinya sebuah cerita baru lahir. Itu tak saya kehendaki,” jelas Teguh Karya.***