Linda Gozali: Dari Warisan Menjadi Visi Sinema
Artikel selengkapnya: Majalah ELLE 16 Agustus 2025
Warisan. Kisah Linda bermula bukan dari ruang editing atau lokasi syuting, melainkan dari lantai bursa. Ia menghabiskan 25 tahun membangun karier gemilang di dunia finansial dan pasar modal, sebelum akhirnya mendengarkan suara hati yang membawanya pulang: pulang ke rumah, ke film, dan ke mimpi ayahnya yang belum selesai. Bersama sang adik, Charles Gozali—yang lebih dulu berjuang menghidupkan kembali industri film keluarga—Linda membangun MAGMA dengan menggabungkan presisi bisnis dan kepekaan kreatif. Dan dari sinilah, lembar baru dimulai: bukan sekadar meneruskan warisan, tapi menciptakan narasi baru yang relevan dan berdampak.
Gagasan. Perjalanan Linda di dunia film bukan tanpa pencapaian. Ia mencetak tonggak bersejarah dengan Sobat Ambyar (2020), film Indonesia pertama yang tayang global di Netflix. Film tersebut bukan hanya hiburan manis bernuansa patah hati, tetapi juga penghormatan bagi almarhum Didi Kempot yang ikonis. Di tahun 2022, MAGMA merilis Qodrat, film horor dengan pendekatan sinematik yang segar dan mendalam—sebuah redefinisi horor Indonesia yang mendapat pujian luas dari kritikus. Karya ini menegaskan bahwa Linda bukan hanya produser dengan orientasi pasar, tetapi juga seniman strategis yang tahu kapan harus mengguncang pasar dengan kualitas. Tahun berikutnya, Linda membawa gagasan besar lain: JAFF Market—pasar film pertama di Indonesia yang menjadi ruang pertemuan antara sineas lokal dan global. Sebuah inisiatif yang membuka harapan akan industri yang lebih terstruktur dan inklusif.
Sebagai produser, apa filosofi atau nilai-nilai utama yang selalu Anda pegang dalam memilih proyek film yang akan Anda kerjakan?
“Bagi saya, sebuah film harus memiliki makna. Apapun bentuknya—apakah inspiratif, reflektif, atau bahkan menggugah keberanian hidup dalam keterbatasan—film harus punya tujuan yang jelas dalam membingkai pesan positif bagi penontonnya. Kita hidup hanya sekali, dan film memiliki kekuatan untuk mengajak kita meresapi hidup dengan lebih dalam. Maka sebagai produser, saya percaya bahwa tugas saya adalah memastikan bahwa setiap proyek yang kami garap tidak hanya estetis, tapi juga memberi resonansi batin. Tidak perlu berceramah sepanjang durasi, biarkan cerita berkembang dan menyelinap ke dalam hati penonton. Karena film yang baik bukan hanya yang ditonton, tapi yang dirasakan lama setelah layar gelap.”
Sebagai figur yang kini aktif membangun koneksi lintas Asia melalui JAFF Market dan MAGMA, bagaimana Anda menjaga agar film Indonesia tidak hanya menjadi ‘produk ekspor’, tetapi tetap menyuarakan akar budayanya?
“Ini soal bagaimana kita memandang kearifan lokal sebagai kekuatan, bukan keterbatasan. Saya percaya, semakin dalam kita menggali cerita dari tanah kita sendiri, justru semakin terbuka kesempatan untuk mempersembahkan kearifan lokal tadi dari kacamata yang universal resonansinya. Dunia tidak mencari yang mirip, tapi yang otentik. Maka penting bagi saya dan tim di MAGMA untuk menjaga akar narasi—budaya, bahasa, kepercayaan—sebagai inti dari cerita yang kemudian bisa dikemas dengan pendekatan sinematik yang mendunia. Konektivitas tidak boleh menggerus identitas.”